Pengantar
Wikipedia mengartikan Start-up Company sebagai berikut:
A startup company or startup is a company with a limited operating history. Startup companies can come in all forms, including those that are simply life-style companies, but the phrase "startup company" is often associated with high growth, technology oriented companies. That is, they have lower bootstrapping costs, higher risk, and higher potential return on investment. Venture capital firms and angel investors may help startup companies begin operations, exchanging cash for an equity stake. In practice though, many startups are initially funded by the founders themselves. A critical task in setting up a business is to conduct research in order to validate, assess and develop the ideas or business concepts in addition to opportunities to establish further and deeper understanding on the ideas or business concepts as well as their commercial potential. A company may cease to be a startup as it passes various milestones, such as becoming profitable, or becoming publicly traded in an IPO, or ceasing to exist as an independent entity via a merger or acquisition. (www.wikipedia.com)
Terus kenapa nih mas kita ngomongin nih topik?
Nah… Banyak negara mulai menyuarakan revolusi entrepreneurial untuk memperbaiki perekonomiannya. Revolusi Entrepreneurial diartikan sebagai perubahan strategi ekonomi dengan menciptakan bisnis sebanyak-banyaknya untuk mengoptimalkan kemampuan masyarakat. Revolusi ini secara konsep akan meningkatkan lapangan pekerjaan dan menambah GDP Negara. (bdk artikel: How to Start an Entrepreneurial Revolution; HBR June 2010 Page 42). Revolusi ini biasanya dimulai dari pemberdayaan lingkungan bisnis, pendidikan, dan masyarakat umum dalam inkubator-inkubator bisnis. Inkubator bisnis mempertemukan ketiga komponen tersebut dan, diharapkan dapat, menelurkan bisnis baru yang secara konsisten hidup dan berkembang. Bisnis baru ini akan melewati masa Start-up sebagai masa awal usahanya. Masalah timbul ketika di lapangan dijumpai bahwa sebagian besar bisnis baru gagal di fase ini. Penelitian di Amerika (Aldrich, 1999) menunjukkan bahwa 90% bisnis baru gagal di fase start-up. Sebagian besar kegagalan ini timbul sebab bisnis baru gagal dalam salah satu dari tiga hal berikut: bertahan hidup, bertumbuh, dan ber-profit. Bisnis baru kerap kali mengalami defisit anggaran yang disebabkan oleh tidak terbayarnya biaya rutin oleh anggaran pendapatan yang real. Time to market yang lama, asumsi perencanaan yang salah, pemindaian lingkungan yang salah, riset yang panjang, dan kesalahan alokasi sumber daya adalah beberapa dari banyak hal lain yang mungkin akan “membunuh dari dalam” bisnis di awal masa start-up. Selain itu tentu bisnis mesti bertahan dan mampu terus berkembang serta berprofit di tengah ketidak pastian trend dan kekuatan lainnya (Michael Porter merumuskannya dalam 5 kekuatan kompetitif). Kontradiksi antara konsep solutifnya untuk meningkatkan kemakmuran negara dan kenyataan bahwa mayoritas usaha tersebut gagal memancing ketertarikan beberapa pihak.
Salah seorang yang tertarik untuk mempelajari hal tersebut adalah Mrs. Mukti Khaire. Mrs. Mukti Khaire menuliskan abstrak Disertasinya yang berjudul Great Oaks from Little Acorn Grow: Strategies for New Venture Growth. Dalam wawancaranya dengan Mrs. Sarah Jane Gilbert dari Harvard Business School (HBS) Working Knowledge Asisten Profesor HBS ini mengemukakan ketertarikannya kepada Start-up Company, terutama pada strateginya untuk berkembang. Beliau mengatakan bahwa sebagian besar start up dibentuk sebagai sebuah bisnis kecil. Bentuknya sebagai bisnis yang kecil ini kerap merugikan bila terjadi persaingan dengan bisnis besar. Bisnis besar memiliki kekuatan untuk bertahan dalam lingkungannya dan secara politis dapat mengatur strategi untuk bertahan hidup, bertumbuh, dan berprofit. Bisnis kecil tidak demikian; bahkan hampir sebaliknya: bisnis kecil sering diombang-ambingkan lingkungannya. Dalam kondisi seperti ini bisnis kecil harus tetap dapat bertumbuh untuk menjadi besar dan kuat; bisnis harus mendapat tempat di hati stakeholdernya. Mukti Khaire menyarankan strategi optimalisasi sumberdaya sosial yang intangible ( Intangible social resources) untuk menguatkan posisi bisnis kecil dalam pertumbuhannya.
Intangible Social Resources untuk Pertumbuhan Bisnis Baru
(Great Oaks from Little Acorn Grow: Strategies for New Venture Growth; Mukti Khaire; 2005)
Sumber daya intangible adalah sumber daya non-finansial dan non-material yang dimiliki perusahaan secara virtual pada struktur sosial dimana perusahaan itu tumbuh. Walaupun perusahaan adalah entitas ekonomis, perusahaan tetap dipengaruhi oleh variabel sosial seperti legitimasi, status, dan reputasi sebab bagaimanapun semua transaksi ekonomis dilakukan juga dalam frame berpikir sosial oleh para pelakunya. Dengan berdasar pada pemikiran tersebut, walaupun minimnya keuangan dari Start-up Company sering diamati sebagai penyebab kegagalan, ternyata suberdaya sosial yang intangible ini perlu juga mendapat perhatian lebih.
Sebuah entitas dapat memiliki legitimasi ketika aksinya dianggap wajar, dapat diterima, atau “diminati” oleh kepercayaan dan norma yang berlaku di masyarakat. Sebuah hal yang baru dan tidak familiar tidak akan mendapat legitimasi karena kebaruannya tersebut. Demikian pula dengan sebuah perusahaan baru. Perusahaan baru dapat dipandang sebagai sebuah perusahaan yang “asing” dan kurang dipercaya oleh stakeholder. Untuk memperoleh legitimasi sebuah bisnis baru mesti menata diri untuk tampil layaknya sebuah organisasi yang sudah berdiri. Bagaimana menatanya? Bisnis mesti memiliki struktur dan tingkah laku organisasi pada umumnya. Misalnya tentang penggunaan sebutan Jabatan pada perbandingan dua kasus bisnis berikut: Seorang direktur suatu perusahaan besar datang ke sebuah bisnis kecil untuk menjajagi hubungan kerjasama. Di tempat A sang Direktur diterima oleh seseorang yang berperan sebagai penerima tamu dan mempersilakannya menemui Manajer Bisnis di ruang X. Di tempat B sang Direktur diterima oleh seseorang yang menerimanya dengan wajah cemberut karena merasa pekerjaanya terganggu dan mengatakan,” Oh… Bapak terus saja… Di ruang itu ada si Jon.. Dia yang mengurusi masalah-masalah kerjasama seperti ini”. Manakah bisnis kecil yang menurut Anda dianggap lebih berlegitimasi oleh si Direktur ini pada kontak sosial tersebut? Mengutip sebuah iklan… “ Kesan Pertama Begitu Menggoda…”
Lain legitimasi, lain pula status. Sebuah perusahaan dikatakan memiliki status (dan reputasi) baik bila ukurannya besar dan performansinya baik. Bagaimana dengan Start-up Company? Sering kali bisnis baru berukuran kecil dan tentu belum memiliki rekam jejak keberhasilan (jualan aja belom…). Bisnis kecil dapat menjalin hubungan dengan bisnis besar (semacam bapak angkat). Dengan hubungan ini stakeholder akan mengasosiasikan persepsi tentang bisnis kecil dengan nilai dan status yang ada di bisnis besar tersebut. Tentu hal ini berlaku dengan syarat-syarat: bisnis besar yang menjadi induk memiliki keutamaan-keutamaan yang dapat dimiliki bersama dengan bisnis kecil dan bisnis kecil bersedia berusaha mempertahankan nilai keutamaan tersebut sehingga persepsi nilai keutamaan kedua bisnis dapat saling menguatkan.
Penutup
Tertarik untuk ikut serta dalam Revolusi Entrepreneurial? Susah memang susah… tapi cukup menarik dan menantang .. terutama jika Anda memiliki purpose untuk terjun memperjuangkan misi hidup Anda (tinggi je bahasanya haha). Jika anda tertarik dan mulai masuk dalam hal ini tidak ada salahnya Anda mencari mentor. Mentor akan sangat banyak membantu dalam hal teknis maupun (banyakan ini) non teknis. Selain itu memperluas wawasan adalah hal wajib yang mesti dilakukan.
Mempertajam determinasi dan kreatifitas serta meningkatkan kepekaan hubungan sosial, bergelut dalam fase ini mengembangkan hidup Anda lho ^^.
Salam dalam keberlimpahan. Indonesia Adidaya!!
Surakarta, 22 Januari 2011
al Art’e
Artikel asli dapat dilihat di:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar